Fenomena Pilkada Sulsel, Sejarah Baru yang Tercipta karena Aturan

Minggu, 08 Juli 2018 - 23:02 WIB
Fenomena Pilkada Sulsel, Sejarah Baru yang Tercipta karena Aturan
Sejumlah fenomena baru terjadi selama perhelatan Pilkada di Sulsel. Catatan SINDOnews, mengulas sejumlah fenomena tersebut, yang disebut tercipta karena aturan. Foto : SINDnews
A A A
MAKASSAR - Sejumlah fenomena baru terjadi selama perhelatan Pilkada di Sulsel. Catatan SINDOnews, mengulas sejumlah fenomena tersebut, yang disebut tercipta karena aturan.

Fenomena pertama yakni adanya tiga daerah yang melaksanakan Pilkada dengan pasangan calon (Paslon) tunggal, berhadapan dengan kolom kosong (Koko). Yakni, Kota Makassar, Kabupaten Enrekang, dan Kabupaten Bone.

Ikut sertanya Koko sebagai rival paslon tunggal yang terjadi di tiga daerah itu disertai kemenangan Koko melawan paslon tunggal di Kota Makassar menjadi sejarah baru dalam kancah perpolitikan Sulsel bahkan Indonesia.

Lalu, untuk pertama kalinya di Sulsel, Paslon Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Sulsel diikuti empat pasang kandidat. Menjadi Pilkada dengan kandidat terbanyak sepanjang sejarah Pilgub Sulsel.

Belum lagi adanya kandidat petahana Moh Ramdhan Danny Pomanto menggunakan jalur independen, sebelum akhirnya didiskualifikasi, juga menjadi yang pertama terjadi di Sulsel.

"Ada namanya petunjuk undang-undang. Ketika partai politik (Paslon) bergabung di satu Paslon maka dia akan berhadapan dengan kolom kosong. Itulah yang terjadi di Makassar, Bone, dan Enrekang," ungkap Pengamat politik Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar Jayadi Nas saat ditemui di Grand Claro Hotel.

Mantan Ketua KPU ini menilai fenomena-fenomena baru tersebut selaras dengan aturan-aturan yang dibuat untuk Pilkada kali ini terutama menjadi penyebab munculnya paslon tunggal di tiga kabupaten/kota di Sulsel.

Sayangnya, Jayadi melihat kondisi tersebut sebenarnya merupakan catatan minor terhadap pelaksanaan Pilkada di kabupaten/kota tersebut. Lantaran, Parpol yang menumpuk di satu Paslon cenderung tidak didasarkan pada pemilihan kriteria terbaik untuk sebuah daerah, khususnya Makassar.

"Aksi borong partai ini kita sayangkan. Karena, tidak didasarkan pada, apakah betul figur-figur ini yang dibutuhkan, terbaik diantara yang lain. Misalnya Makassar, dari 10 paslo menjadi hanya 1. Ini memunjukkan adanya degradasi kaderisasi secara politik," terang dia.

Ia mengaku berharap demokrasi selalu memberikan ruang kepada siapa saja yang ingin mencalonkan diri tidak malah mengungkung calon yang berniat bertarung tersebut.

Sementara soal banyaknya jalur independen, kata Jayadi, merupakan salah satu jalan bagi mereka yang maju di Pilkada, namun tidak ada ruang untuk melalui di Parpol. Disisi lain, jalur independen juga merupakan jalan bagi masyarakat untuk menyodorkan calon yang dianggap paling tepat untuk memimpin.

"Tapi, Pilkada kali ini membuat orang berfikir ulang jalur independen, karena tidak ada yang menang jalur independen kan? Tapi, jalur independen itu dipengaruhi siapa yang menggunakannya," kata Jayadi.

Namun, untuk jalur partai juga menjadi pembelajaran, karena banyak partai bukan menjadi jaminan, contohnya di Makassar. Appi - Cicu yang ditopang 10 partai justeru kalah oleh kolom kosong. "Partai punya struktur sampai ke bawah, tapi persialannya apakah ini bergerak tidak bergerak. Ternyata tidak bergerak, kalau bergerak, seharusnya Appi - Cicu menang," papar dia.

Terakhir, eks ketua KPU Sulsel ini juga menyinggung soal dominasi petahana di Pilkada yang berlangsung. Dimana petahana Parepare, Enrekang, Bone, Jeneponto, dan Palopo, menang atas rivalnya. Menurut, Jayadi, hal itu sebenarnya wajar-wajar saja, yang tidak wajar kata dia, jika petahan kalah, seperti di Sinjai.

"Petahana yang tumbang adalah sebuah kekeliruan besar. Sudah diberikan fasilitas, diberi ruang aelama 5 tahun, 3 hari sebelum hari h, menjabat kembali. Ini kalau logika politik berjalan," kata dia.

Hanya saja, menurut Jayadi, kekalahan Sinjai itu dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Salah satunya, adalah didiskualifikasinya petahana Sabirin Yahya sehari sebelum pemilihan, yang membuat perolehan suaranya menurun. Disisi lain, lawan petahana pernah menjadi rivalnya pada periode Pilkada sebelumnya.
(sss)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.5539 seconds (0.1#10.140)