Medsos Kian Tak Dipercaya, Kepercayaan ke Media Mainstream Naik

Sabtu, 08 Februari 2020 - 07:22 WIB
Medsos Kian Tak Dipercaya, Kepercayaan ke Media Mainstream Naik
Kian tergerusnya kualitas data dan lemahnya perlindungan data privasi pengguna medsos memengaruhi kepercayaan publik atas platform ini. Foto/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Awal pekan ini, penulis novel horor asal Amerika Serikat (AS) Stephen King tiba-tiba mengumumkan penghapusan akun facebook miliknya. Stephen menilai kebijakan facebook yang mengizinkan iklan politik membuat dia sangat kecewa. Dia tak ingin terus terpapar berita bohong, provokasi hingga data pribadinya bocor.

Penulis legendaris tersebut telah siap hidup tanpa jejaring sosial facebook (FB) meski telah memiliki pengikut sebanyak 5,6 juta. Baginya, kebijakan facebook memperbolehkan iklan politik sama halnya membuka politikus untuk membohongi publik. “Saya keluar dari facebook,” kata King seperti dilansir CNN.

Tak hanya Stephen, selama awal 2020 ini setidaknya ada dua pesohor lain yang memutuskan berhenti dengan media sosial. Pada awal Januari lalu, CEO AirAsia Tony Fernandes, memutuskan menutup akun twitter-nya karena menilai jejaring sosial itu menjadi ajang kemarahan dan kebencian.

Sinyal ketidakcocokan Tony pada media sosial sebenarnya telah muncul sejak Maret 2019 lalu ketika Facebook tak hati-hati turut menayangkan live streaming penembakan di sebuah masjid di Kota Christchurch, Selandia Baru yang menewaskan 49 orang.

Setelah benar-benar jengah dengan konten di media sosial, dia akhirnya menutup rapat akun twitter pada Januari meski telah memiliki followers cukup banyak yakni 1,3 juta.

Selanjutnya pada 12 Januari lalu, aktor film Star Wars, Mark Hamill, juga menutup akun Facebook karena kecewa dengan kebijakan iklan politik. Dia mengkritik Chief Executive Officer (CEO) Facebook Mark Zuckerberg yang lebih mementingkan keuntungan materi dibandingkan kebenaran.

Menurut Hamill, kolom advertorial Facebook, menjadi sarang kampanye tidak sehat para politisi di AS jelang kontes politik tahun ini. Dia mendesak platform yang diciptakan pada 2004 dan mulai populer di dunia pada 2008 itu mengambil tindakan demi mencegah kampanye negatif di dunia maya.

Namun, Facebook mengabaikannya dan tetap mempertahankan kebijakan sebelumnya. Zuckerberg menegaskan publik memiliki hak untuk menilai apa yang dikatakan politikus. “Saya tidak pikir sebagian orang ingin tinggal di mana kamu bisa mengunggah apapun dimana perusahaan teknologi menilai hal itu 100% benar,” kata Zuckerberg.

Tren ketidakpercayaan publik terhadap berbagai platform media sosial meningkat dalam beberapa waktu terakhir. Dalam sebuah survei yang dilaksanakan Tech.pinions, perusahaan media dan teknologi menyatakan, satu dari 10 orang Amerika Serikat menghapus akun facebook mereka. Kemudian, 35% responden jarang menggunakan akun facebook yang dimilikinya. Kenapa mereka memilih keluar dari Facebook? Sebagian responden menyatakan perhatian mereka terhadap pencurian data.

Di Indonesia, sejumlah tokoh dan artis juga memutuskan tidak memiliki akun media sosial karena merasa bisa hidup lebih tenang dan berpikir jernih. Ini antara lain dilakukan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Pendidikan Tinggi Nadiem Makarim. Mantan bos Gojek ini resmi tak memiliki akun media sosial sejak 2017 lalu.

Namun, aktris yang juga penyanyi Della Puspita menilai dengan kesibukan kesehariannya, orang membutuhkan media sosial untuk bisa lebih berinteraksi lagi satu sama lain. "Dari bermacam jenis medsos, saya hanya pilih salah satu saja yang tidak terlalu ribet dan seru. Dengan media sosial saya bisa berinterkasi, menjaga keakraban, berkomunikasi sama keluarga teman dan orang yang dicinta," kata dia.

Musisi Adi Adrian mengakui media sosial memiliki banyak hal atau pengaruh negatif jika informasi yang disebarkan tidak mempunyai sumber yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Oleh karenanya, seharusnya masyarakat lebih bijak dan mengecek keakurasian informasi di banyaknya platform medsos yang terus berkembang cepat saat ini.

Kepercayaan Publik Media Mainstream Naik

Kian tergerusnya kualitas data dan lemahnya perlindungan data privasi pengguna media sosial perlahan memengaruhi kepercayaan publik atas platform ini. Bahkan survei terhadap media di Indonesia yang dilakukan sejumlah lembaga seperti Dewan Pers menunjukkan bahwa tren kepercayaan publik terhadap media arus utama (mainstream) telah meningkat hingga meninggalkan posisi media sosial. Padahal pada kurun 2014-2015, kepercayaan media sosial mengalahkan media mainstream seperti koran, televisi, radio, dan media online. Keberhasilan media mainstream memulihkan kepercayaan publik ini karena menguatkan sajian informasinya dengan data dan fakta yang berkualitas.

Bagi Ketua Dewan Pers Mohamad Nuh, prinsip dasar dari sebuah layanan, produk barang atau lainnya yakni kualitas. Dengan kualitas yang terjaga dengan baik maka akan memperkuat atau meningkatkan kepercayaan konsumen. Demikian juga di dunia media, sepanjang di dunia media itu termasuk media mainstream, tidak bisa menunjukkan kualitasnya maka akan ditinggal. “Tapi sebaliknya, dunia media termasuk media mainstream itu kalau bisa menunjukkan kualitasnya, akurasinya, tingkat kebenarannya maka tentu akan menjadi rujukan,” ujar M Nuh.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu mengatakan, sebuah media termasuk medsos kalau tingkat akurasinya tidak bisa dipegang karena tidak ada yang bertanggungjawab dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, maka akan ditinggal. Untuk menangkal maraknya berita hoaks, mantan rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) itu mendorong pemerintah dan juga media-media resmi, termasuk media online yang kredibel banyak mengisi ruang-ruang pemberitaan, termasuk dalam menghadapi percaturan politik pilkada Serentak di 270 kabupaten/kota dan provinsi yang sudah di depan mata.

Pakar New Media, Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran Bandung Dedi Supriadi mengatakan, kecenderungan orang tidak suka dengan media sosial terjadi di masyarakat yang memiliki literasi media yang tinggi dan kebiasaan membaca yang besar. Untuk menyikapi perkembangan platform medsos, orang perlu memiliki critical thinking. “Ini PR (pekerjaan rumah) sebenarnya, yang harus dimulai dibiasakan di bangku sekolah melalui kuriulum yang tepat," ungkapnya.

Sedang pakar marketing Yuswohady menyatakan, sejak lima tahun belakangan hadirnya platform media sosial merupakan ajang pengujian bagi seseorang karena media tersebut akan menunjukkan fungsi yang sesungguhnya.

Pengamat telekomunikasi dari Information Communication and Technology (ICT) Institute Heru Sutadi berpendapat, untuk mendapatkan informasi akurat atau berita yang bukan hoaks netizen yang cerdas pasti akan cross check melalui media-media mainstream. “Nah di situlah fungsi media berita,” ungkapnya.

Sedang pengamat Komunikasi dan Budaya Digital Firman Kurniawan mengatakan, banyaknya tokoh selebritas atau tokoh bisnis yang meninggalkan media sosial tidak lain karena adanya energi negatif yang ditimbulkan akibat medsos.

Menurut pendiri LITEROS.org tersebut, ada tiga energi negatif yang bisa timbul dari media sosial. Pertama, energi negatif yang menyerang pribadi yang berujung perundungan (bullying). Kedua, energi negatif yang ditimbulkan oleh keluh kesah oleh para pengguna media social. Ketiga energi negatif yang ditimbulkan oleh pertengkaran dan perdebatan antar pengguna. ichsan amin/inda susanti/muh shamil/andika/agus warsudi
(tyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.7878 seconds (0.1#10.140)