Negosiasi Kandas, TNI-Polri Pilih Cara Tegas

Sabtu, 11 November 2017 - 09:21 WIB
Negosiasi Kandas, TNI-Polri Pilih Cara Tegas
Pimpinan kelompok kriminal bersanjata yang menyandera 1.300 warga Kampung Kimbely dan Banti, Kecamatan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua menolak berkomunikasi dengan pihak luar. Foto: Dok/SINDO
A A A
JAKARTA - Pimpinan kelompok kriminal bersanjata yang menyandera 1.300 warga Kampung Kimbely dan Banti, Kecamatan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua menolak berkomunikasi dengan pihak luar.

Akibatnya, upaya negosiasi antara petugas gabungan TNI-Polri dengan kelompok kriminal bersenjata untuk membebaskan belum berhasil.

Di tengah situasi yang belum menentu tersebut, aparat keamanan berencana melakukan tindakan tegas kepada para penyandera. Cara ini dilakukan karena penyanderaan yang sudah berlangsung lima hari ini membuat ribuan warga semakin tertekan. "Aparat sudah menghubungi pimpinan kelompok bersenjata tapi mereka tidak membuka ruang komunikasi. Upaya ini dilakukan agar tidak ada korban," ujar Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Setyo Wasisto di Jakarta, kemarin.

Menurut Setyo berdasarkan informasi yang diperoleh, ‎1.300 warga yang disandera kondisinya baik-baik saja. Namun secara psikis mereka sangat tertekan. Untuk keperluan belanja bahan makanan beberapa perempuan diperbolehkan keluar kampung dengan pengawalan ketat. "Namun laki-lakinya tidak diberikan akses dan dilarang keluar kampung," terangnya.

Jenderal bintang dua ini tidak bisa memastikan kapan proses negosiasi akan bisa dilakukan. Selain melakukan pendekatan persuasif dan preventif, saat ini tim gabungan TNI-Polri juga memastikan agar warga yang disandera aman tanpa mengalami kekerasan dan intimidasi. "Jika upaya negosiasi masih buntu juga, kami akan melakukan tindakan tegas. Sebab mereka sudah melanggar hukum dengan menyandera dan merampas harta benda warga," tegasnya. ‎

Meski demikian, Upaya persuasif akan terus dilakukan antara lain dengan mengerahkan tokoh-tokoh berpengaruh untuk membangun komunikasi dengan KKB agar mereka bersikap persuasif.


Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto mengatakan, tidak ada alasan yang dapat membenarkan suatu kelompok melakukan langkah langkah di luar hukum. Menurut Wiranto, saat ini pemerintah tidak sedang melawan masyarakat Papua tetapi kelompok kriminal. "Apapun alasannya tidak boleh suatu kelompok masyarakat apalagi masuk kelompok kriminal dan mencoba untuk melakukan langkah-langkah seperti itu. Kita reinforcement, kita menggunakan jalur-jalur hukum," jelasnya.

Hingga kini pemerintah belum mengetahui persis motif kelompok bersenjata ini melakukan penyanderaan di ‎wilayah Tembagapura, Papua. Namun, kata dia, tindakan persuasif yang dilakukan pemerintah lantaran tidak ingin ada persepsi bahwa pusat ingin melawan masyarakat Papua. "Ya tegas harus tegas, tapi kan kita persuasif dulu, ajakan," katanya.

Kapolda Papua Irjen Pol Boy Rafli Amar memperkirakan kelompok bersenjata tersebut memiliki 30 pucuk senjata api baik laras panjang ataupun revolver. Senjata itu sebagian besar rampasan dari TNI atau Polri. Selain itu, mereka juga dipersenjatai panah dari bambu yang ujungnya dibuat berulir sehingga dapat menewaskan seseorang jika mengenai sasaran yang mematikan.

Boy mengungkapkan, tim gabungan terus melakukan negosiasi agar tidak ada warga yang menjadi korban. Negosisasi dilakukan melalui para tokoh yang ada di daerah tersebut."Tim gabungan masih terus melakuan upaya persuasif dengan mereka agar tidak menimbulkan korban jiwa," katanya.

Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian sebelumnya menyebut, para penyandera merupakan kelompok yang lama ada di Papua. Bahkan saat dirinya menjabat kapolda Papua pada 2012 lalu, kelompok ini sudah terdeteksi. Menurut Tito, kelompok bersenjata itu memanfaatkan para pendulang liar limbah Freeport untuk mencari kentungan. Modus yang paling sering dilakukan ada lah menjadikan para pendulang ini sebagai tameng.

Kalangan DPR mendorong pemerintah agar kasus penyanderaan 1.300 warga di Papua ini dilihat secara holistk. DPR mendesak pemerintah membentuk gugus tugas khusus Papua. “Tugasnya tidak hanya menyelesaikan persoalan Papua di dalam negeri tetapi juga mendukung upaya diplomasi di luar negeri," kata Anggota Komisi I DPR Sukamta.

Menurut Sukamta, untuk menjamin keamanan di dalam negeri penting dilakukan secara sistematis. Tim gabungan TNI dan Polri harus bekerja secara cermat karena ribuan warga sudah menjadi sandera. Selain itu, Badan Intelijen Negara (BIN) yang memiliki kisah sukses dalam merangkul tokoh separatis di Aceh perlu juga dilibatkan. "Jadi, pihak terkait harus bersinergi dalam upaya ini," imbuh Sekretaris Fraksi PKS itu.


Kemudian, lanjut Sukamta, yang tidak kalah penting adalah pendekatan kesejahteraan, tidak hanya dengan menggelontorkan dana yang besar melalui program otonomi khusus (otsus) Papua. Menurutnya, perlu ada pemikiran agar bagaimana dana yang besar bisa tepat sasaran serta bisa dimanfaatkan untuk pembangunan yang berbasis budaya masyarakat setempat.

Anggota Komisi I DPR lainnya Evita Nursanty berlandangan, penyanderaan itu dari segi apapun tidak bisa dibenarkan, dan harus ada tindakan yang terukur dan efektif dari aparat, mulai dari Polri, TNI, dan jajaran pemerintahan Evita menjelaskan, tindakan terukur adalah pendekatan yang terbaik yang ditempuh sesuai kondisi di lapangan mengingat jumlah masyarakat yang disandera cukup besar. "Jadi keselamatan warga harus menjadi yang utama untuk saat ini dan yang paham medan adalah polri dan TNI di sana," kata Evita.(M Yamin/Kiswondari/Binti Mufarida)
(kem)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.7642 seconds (0.1#10.140)