Klaster Baru COVID-19 di Pilkada Dinilai Berpotensi Terjadi

Minggu, 06 September 2020 - 17:05 WIB
loading...
Klaster Baru COVID-19 di Pilkada Dinilai Berpotensi Terjadi
Ahli Epidemiologi Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Ridwan Amiruddin. Foto: Istimewa
A A A
MAKASSAR - Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2020 dianggap sangat berpotensi menjadi klaster baru penularan COVID-19 , sehingga para kandidat diminta lebih kreatif dalam melakukan kampanye.

Bahkan saat pendaftaran kemarin, dua bakal calon bupati terpapar COVID-19 yakni, Arsyad Kasmar (calon bupati Luwu Utara), Irwan Bachri (calon bupati Luwu Timur).



Ahli Epidemiologi Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Ridwan Amiruddin tak menampik adanya kemungkinan kemunculan klaster pilkada. Pengerahan massa oleh tiap kandidat yang abai akan protokol kesehatan menjadi pemicu utama.

"Ini tentu menjadi warning bagi penyelenggara pilkada khususnya KPU. Bahwa protokol kesehatan itu tidak bisa dilaksanakan dengan optimal pada situasi ini," ujar Ridwan yang dihubungi SINDOnews, Minggu (6/9/2020).

Diketahui khusus Sulsel ada 12 kabupaten/kota yang bakal menggelar Pilkada serentak tahun ini. Kendati begitu, Ridwan mengungkapkan bukan berarti penularan tidak berdampak di daerah lainnya karena pergerakan penduduk.

"Tentu ini akan memicu kasus-kasus di wilayah lain juga," tegas Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Sulsel.

Ridwan yang juga Ketua Tim Konsultan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Sulsel ini pun merekomendasikan agar tiap kandidat memimalisir mobilisasi massa. Kata dia, calon kepala daerah harusnya lebih kreatif dengan mengusung sistem kampanye digital di tengah pandemi.

"Mestinya para kandidat lebih kreatif mengembangkan media kampanye berbasis digital dengan mendekati kaum milenial dan generasi Z," saran Ridwan.



Menurutnya, kampanye konvensional dengan pengerahan massa tidak relevan lagi di tengah pandemi ini. Di samping pelaksanaan protokol kesehatan akan sulit dikontrol.

"Mobilisasi massa yang kampanye konvensional yang paling sulit dikontrol untuk patuh protokol. Karena psikologi massa yang kehilangan tanggung jawab individu ke tanggung jawab yamg mengambang, ahirnya tidak ada yang peduli," imbuh Ridwan.
(agn)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.6574 seconds (0.1#10.140)