Wafat di Bulan Ramadhan, Bagaimana Puasa yang Ditinggalkan?

Rabu, 06 Mei 2020 - 17:29 WIB
loading...
Wafat di Bulan Ramadhan, Bagaimana Puasa yang Ditinggalkan?
Islam memberi banyak keringanan dan kelonggaran dalam pelaksanaan fiqih ibadah termasuk puasa. Foto/dok SINDOnews
A A A
Apabila seseorang sakit di bulan Ramadhan misalnya selama 10 hari dia tidak berpuasa hingga akhirnya ia wafat. Bagaimana hukum puasa yang ditinggalkannya? Qadha atau bayar fidyah?

Menurut Ustaz Farid Nu'man Hasan (dai lulusan Sastra Arab Universitas Indonesia), terdapat perbedaan pendapat ulama apakah ahli warisnya harus membayar fidyah atau qadha. Seperti perkataan Syeikh Sayyid Sabiq rahimahullah:

فذهب جمهور العلماء، منهم أبو حنيفة، ومالك، والمشهور عن الشافعي إلى أن وليه لا يصوم عنه ويطعم عنه مدا، عن كل يوم . والمذهب المختار عند الشافعية: أنه يستحب لوليه أن يصوم عنه، ويبرأ به الميت، ولا يحتاج إلى طعام عنه. والمراد بالولي، القريب، سواء كان عصبة، أو وارثا، أو غيرهما. ولو صام أجنبي عنه، صح، إن كان بإذن الولي، وإلا فإنه لا يصح. واستدلوا بما رواه أحمد، والشيخان، عن عائشة: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” من مات وعليه صيام صام عنه وليه ” زاد البزار لفظ: إن شاء وروى أحمد وأصحاب السنن: عن ابن عباس رضى الله عنهما أن رجلا جاء إلى النبي صلى الله عليه وسلم: فقال: يا رسول الله، إن أمي ماتت وعليها صيام شهر أفأقضيه عنها؟ فقال: ” لو كان على أمك دين أكنت قاضيه؟ ” قال: نعم. قال: ” فدين الله أحق أن يقضى ” قال النووي: وهذا القول هو الصحيح المختار الذي نعتقده وهو الذي صححه محققو أصحابنا الجامعون بين الفقه والحديث لهذه الاحاديث الصحيحة الصريحة.

Menurut mayoritas ulama seperti Abu Hanifah, Malik, dan yang masyhur dari Asy-Syafi'i, bahwa walinya tidaklah berpuasa qadha untuknya, tetapi memberikan makan sebanyak satu mud untuk setiap harinya. Tapi, mazhab yang diplih oleh Syafi'iyyah adalah dianjurkan bagi walinya untuk berpuasa qadha baginya, yang dengan itu mayit sudah bebas, dan tidak perlu lagi memberikan makanan (fidyah).

Yang dimaksud dengan Wali adalah kerabatnya, sama saja baik dia 'ashabah, atau ahli warisnya, atau selain mereka. Bahkan seandainya orang lain pun tetap sah, jika izin ke walinya, jika tidak maka tidak sah.

Mereka berdalil seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Syaikhan (Al Bukhari dan Muslim), dari 'Aisyah, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang wafat dan dia ada kewajiban puasa maka hendaknya walinya berpuasa untuknya." Dalam riwayat Al Bazzar ada tambahan: "Jika dia mau."

Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ashabus Sunan, dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah SAW : "Wahai Rasulullah, ibuku telah wafat dan dia ada kewajiban puasa, bolehkah saya yang mengqadha-nya?" Nabi menjawab: "Apa pendapatmu jika ibumu memiliki utang, apakah kamu akan membayarkannya?" Laki-laki itu menjawab: "Ya." Lalu Nabi bersabda: "Maka, utang kepada Allah lebih layak kamu bayar."

Imam An-Nawawi berkata: "Pendapat ini adalah pendapat yang benar lagi terpilih, dan kami meyakininya dan telah dishahihkan para peneliti dari para sahabat kami (Syafi'iyah) yang telah menggabungkan antara hadis dan fiqih, karena hadis-hadis ini adalah sahih dan begitu jelas. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/471. Darul Kitab Al-'Arabi)

Wallahu A'lam
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1410 seconds (0.1#10.140)