DPR Minta Seluruh Stakeholders Bahas Iuran BPJS Secara Menyeluruh

Selasa, 19 Mei 2020 - 23:41 WIB
loading...
DPR Minta Seluruh Stakeholders Bahas Iuran BPJS Secara Menyeluruh
Seluruh stakeholders baik itu pemerintah, legislatif, yudikatif maupun semua komponen masyarakat sipil untuk duduk bersama membahas soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Golkar Melki Laka Lena memberikan beberapa catatan terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan lewat terbitnya Peraturan Presiden Nomor 64/2020 tentang Jaminan Kesehatan yang merupakan perubahan atas Perpres 75/2019 dan sebelumnya Perpres 82/2018 yang menimbulkan pro kontra di masa pandemi Covid-19 ini.

Melki mendorong seluruh stakeholders baik itu pemerintah, legislatif, yudikatif maupun semua komponen masyarakat sipil untuk duduk bersama membahas soal kenaikan iuran ini dan juga aspek lain secara menyeluruh dalam jaminan kesehatan ini. (Baca juga: Kirim Surat ke Pemerintah, PKS: Batalkan Kenaikan Iuran BPJS dan Turunkan Harga BBM)

“Kami mendorong para pemangku kepentingan yang diatur dalam Perpres 82 Tahun 2018 segera duduk bersama mencari solusi komprehensif dan jangka panjang pelaksanaan program jaminan kesehatan nasional. Selain aspek iuran, ada berbagai aspek yang penting dibahas sehingga masyarakat luas memahami secara utuh penyelenggaran jaminan kesehatan nasional,” kata Melki kepada wartawan, Selasa (19/5/2020). (Baca juga: DPR-Pemerintah Bahas Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Setelah Lebaran)

Legislator Dapil NTT II ini juga memberikan sejumlah catatan kritis terkait Perpres tersebut yakni, dalam Sila kelima Pancasila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” diterjemahkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). UU SJSN dijadikan dasar lahirnya 2 penyelenggara untuk melaksanakan jaminan sosial yang diatur dalam UU Nomor 24/2011 tentang BPJS. “BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan mulai beroperasi sejak 2014 dan dari kedua BPJS ini yang perlu mendapat perhatian ekstra yaitu BPJS Kesehatan,” ujarnya.

Kemudian, sambung Melki, isu sentral yang selalu menyertai perjalanan dan kinerja BPJS Kesehatan yaitu kepesertaan, biaya dan manfaat pelayanan. Perpres 82/2018 pasal 98 tertulis tentang kesinambungan penyelenggaraan program jaminan kesehatan dengan dilakukan monitoring dan evaluasi meliputi aspek kepesertaan, pelayanan kesehatan, iuran, pembayaran ke fasilitas kesehatan, keuangan, organisasi dan kelembagaan serta regulasi. Tetapi, perdebatan yang selalu mengemuka dan mengundang debat publik luas dominan di aspek iuran.

“Monitoring dan evaluasi aspek lain tidak begitu menjadi perhatian masyarakat luas termasuk para pemangku kepentingan. Pembahasan yang selalu menguras energi antara pemerintah khususnya Kemenkes, DPR melalui Komisi lX dan BPJS Kesehatan dominan berkutat di iuran. Aspek lain yang diatur dalam aturan ini harus dibahas secara mendalam dengan data akurat khususnya terkait kepesertaan dan manfaat pelayanan kesehatan sehingga analisa dan rekomendasi solusi lebih tepat,” paparnya.

Menurut Melki, pembahasan mencari solusi komprehensif untuk jangka panjang harus juga melibatkan berbagai pihak sebagaimana yang tertulis dalam aturan ini. Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Sosial (Kemensos), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Bappenas, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pemerintah daerah (pemda) sesuai kewenangan masing masing bersama DPR yang berdialog bersama secara intensif. “Perlu pertemuan informal dan formal semua pemangku kepentingan mencari solusi untuk memastikan kesinambungan penyelenggaran jaminan kesehatan,” tutur Melki.

Politikus Partai Golkar ini mengakui pemerintah punya hak untuk terbitkan Perpres 64/2020 sebagai produk hukum baru untuk mengisi kekosongan hukum akibat dibatalkannya Perpres 75/2019 oleh Mahkamah Agung (MA). Dia pun memahami adanya pro kontra di publik karena suasana kebatinan masyarakat yang sulit akibat pandemi Covid-19.

Untuk itu, sambung Melki, dalam rapat kerja (Raker) Komisi lX DPR dengan Kemenkes, BPJS Kesehatan, Kemenko PMK, Kemenkeu, Kemendagri dan Kemensos pada akhir 2019 setuju atas kenaikan iuran kelas 1 dan 2 tapi, tidak setuju kenaikan kelas 3 mandiri pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP). Bahkan, untuk memastikan tidak ada pelanggaran hukum dibuat pertemuan oleh pimpinan DPR melibatkan pimpinan Polri, pimpinan Kejagung dan BPK yang hasilnya merestui langkah yang dilakukan secara teknis oleh BPJS Kesehatan.

“Usulan rapat maraton Komisi lX dan rapat lintas komisi yang dipimpin pimpinan DPR bersama berbagai wakil pemerintah terkait kenaikan iuran sebenarnya terakomodasi hampir lengkap dalam Perpres 64 Tahun 2020 ini. Sayang waktu itu jajaran pemerintah khususnya yang mengurus keuangan negara tidak cepat tanggap mengeksekusi keputusan bersama berbagai otoritas legislatif dan eksekutif,” sesalnya.

Karena itu, dia menambahkan catatan ini bermaksud meletakan duduk soal penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional oleh BPJS untuk kepentingan ke depan. Semua pihak para pemangku kepentingan eksekutif dan legislatif termasuk berbagai kelompok masyarakat sipil yang concern bisa segera duduk bersama setelah Lebaran utk mencari solusi terbaik. “Terbitnya Perpres 64 tahun 2020 harus jadi momentum semua pemangku kepentingan berdialog melakukan pembenahan menyeluruh penyelenggaran program jaminan kesehatan nasional,” pungkasnya.
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1533 seconds (0.1#10.140)