Ketika Perempuan Boleh Menjadi Khatib Salat Id

Sabtu, 23 Mei 2020 - 03:50 WIB
loading...
Ketika Perempuan Boleh Menjadi Khatib Salat Id
Kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian kalangan Syafiiyah serta Hanabilah menyatakan tidak bolehnya perempuan menjadi khatib salat id. Foto/Iustrasi/Ist
A A A
Merebaknya wabah Covid-19 yang tak terkendali hingga detik ini, mendorong sejumlah pemerintah daerah melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Akibatnya, banyak kegiatan masyarakat Muslim, termasuk salat Idul Fitri menjadi terganggu karenanya.

Aktivitas salat Idul Fitri berpotensi tidak bisa dilakukan di masjid , atau tanah lapang dengan mengumpulkan banyak massa.

Oleh karena itu perlu adanya solusi mengenai hal tersebut, mengingat pelaksanaan salat Idul Fitri merupakan bagian dari syiar yang dikuatkan oleh nash-nash syariat.

Sebagaimana hadits dari Ummu ‘Athiyah radliyallahu ‘anha, sebagai berikut:

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِحْدَانَا لا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ، قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengajak keluar kaum perempuan pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, baik perempuan ‘awatiq (wanita yang baru baligh), wanita haid, maupun gadis yang dipingit. Adapun wanita haid, mereka memisahkan diri dari tempat pelaksanaan shalat dan mereka menyaksikan kebaikan serta dakwah kaum muslimin. Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.’ Beliau menanggapi: ‘Hendaklah saudarinya (maksudnya sesama muslimah) meminjamkan jilbab kepadanya’,” (HR Imam Bukhari: 324; dan Muslim: 890).

Dianjurkannya mengajak perempuan haid, perempuan yang dalam pingitan, dan wanita-wanita yang baru baligh untuk hadir di majelis, merupakan bukti bahwa syiar lewat shalat Idul Fitri ini sebagai yang dikuatkan.

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur menganggap, dalam kondisi pandemi Covid-19 ini, maka tugas utama kita – terkait dengan shalat idul fitri – itu ada dua: menjaga syiar dan memberi solusi kepada masyarakat agar tetap bisa mematuhi PSBB, akan tetapi salat id-nya juga dapat. (Baca juga: Takbiran Idul Fitri, MUI Ajak Umat Islam Banjiri Medsos )

Perintah menjaga syiar ini disampaikan oleh Allah subhanahu wata’ala di dalam QS al-Hajj ayat 32. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ

Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” (QS al-Hajj: 32).

Terhadap ayat ini, Ibn Katsir menafsirkan pengertian Syiar ini sebagai:

عن ابن عباس: (ذلك ومن يعظم شعائر الله) قال: الاستسمان والاستحسان والاستعظام

“Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas soal maksud dari ayat ‘dzâlika wa man yu’adzim sya‘ârillâh, ia berkata: menggemukkan, memperindah, dan memperbesar” (Tafsir Ibnu Katsir, halaman 336).

Alhasil, menurut konsep ini, maka menjaga syiar lewat salat id, adalah bisa dilakukan dengan tetap melaksanakan semampunya, tidak meninggalkannya, sehingga seruan akan keimanan dan takwa terhadap Allah SWT sebagai yang tidak akan pernah padam, dan minimal adalah anak cucu kita semua tahu bahwa ada tuntunan untuk melaksanakan shalat Idul Fitri, kendati kondisi tengah dalam situasi kecemasan dihantui oleh wabah.

Menurut catatan Imam Nawawi, bagi pihak yang melakukan salat id secara sendirian (munfarid) maka tidak disyaratkan membaca khotbah. Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah minimal peserta jamaah salat id dan kriteria jumlah jamaahnya sehingga layak disebut pelaksanaan salat id yang di dalamnya didirikan khotbah.
Ustadz Muhammad Syamsudin dalam tulisannya berjudul "Tentang Bolehnya Perempuan Menjadi Khatib Shalat Id" yang dipublikasihan laman resmi NU menjelaskan perbedaan pendapat para ulama ini setidaknya bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

Pertama, ulama yang mensyaratkan salat id sebagaimana layaknya pelaksanaan salat Jumat. Pendapat ini diikuti oleh jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, qaul qadim Syafiiyah, dan Hanabilah.

Sudah barang pasti, ada beberapa rincian yang terjadi ikhtilaf di dalamnya.

Menurut Al-Sarakhshy, salah satu ulama otoritatif dari kalangan Hanafiyah, menyatakan:

يشترط لصلاة العيد ما يشترط لصلاة الجمعة، إلا الخطبة، فإنّها من شرائط الجمعة، وليست من شرائط العيد
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1905 seconds (0.1#10.140)