Bisakah Belajar Tatap Muka Digelar saat COVID Terus Melonjak

Minggu, 20 Juni 2021 - 07:27 WIB
loading...
Bisakah Belajar Tatap Muka Digelar saat COVID Terus Melonjak
Pembelajaran tatap muka (PTM) rencananya bakal dilakukan Juli mendatang. Dok/SINDOnews
A A A
SURABAYA - Pembelajaran tatap muka (PTM) rencananya bakal dilakukan Juli mendatang. Di tengah gegap gempita pembukaan PTM itu, angka konfirmasi positif COVID-19 di berbagai kabupaten/kota di Jatim masih terus melonjak.

Pakar Biostatistika Epidemiologi Universitas Airlangga Dr. Windhu Purnomo, dr., MS menuturkan, kebijakan PTM hendaknya ditinjau ulang. Sebab, saat PTM dibuka akan terjadi mobilitas yang dilakukan oleh para siswa. Adanya mobilitas yang tidak terkontrol di tengah pandemi berisiko tinggi terjadi penularan virus.

“Kalau kita nekad melakukan pembukaan PTM, kita sengaja membuat para siswa bergerak ke sekolah. Kemudian di sekolah mereka berinteraksi dengan orang lain dan yang paling berbahaya adalah saat di perjalanan dari rumah ke sekolah kemudian pulang dari sekolah menuju rumah. Justru itu lah yang berisiko tinggi,” kata Windhu, Minggu (20/6/2021).

Inisiator Tim Advokasi PSBB & Surveilans COVID-19 Fakultas Kesehatan Masyarakat ini menambahkan, kebiasaan kegiatan siswa yang bergerombol juga memiliki risiko. Seperti perilaku siswa yang mungkin akan sering pulang dengan berbondong-bondong dan beramai-ramai singgah di suatu tempat sepulang sekolah menyebabkan sangat berisiko tertular virus. Terutama, bagi siswa yang menggunakan kendaraan umum sebagai alat transportasi.

Baginya, PTM bukan sekedar masalah siswa dan sekolah. Namun, ada juga masalah keluarga di rumah dan lingkungan sekitar di luar sekolah. “Anak-anak usia di bawah 18 tahun itu relatif imunitasnya baik. Kecuali bila mereka punya komorbid, itu yang bisa berisiko meninggal ketika mereka tertular yang punya kelainan bawaan saat lahir. Secara umum anak-anak itu lebih sehat. Kenapa? Karena daya tahan tubuh mereka relatif lebih bagus karena masih muda,” ucapnya.

Kalau mereka tertular, katanya, mungkin hanya sakit ringan atau tanpa gejala. Tetapi mereka akan membawa virusnya pulang ke rumah. Sementara yang ada di rumah mungkin ada bapak-ibu atau kakek-neneknya yang umurnya sudah di atas 60 tahun.

Kalau pemerintah ingin membuka PTM, lanjutnya, harus melihat kondisi epidemiologi terlebih dahulu, tidak cukup melihat peta zonasi risiko yang ada. Pasalnya, jumlah kasus positif yang dilaporkan selama ini diestimasi maksimum hanya seperdelapan dari kasus real yang ada. Adapun syarat lain, seharusnya angka positivitas tidak boleh lebih dari 5 persen.

“Lihat kondisi epidemiologi, angka positivitas saat ini belum di bawah 5 persen. Angka positivitas Indonesia beberapa hari terakhir ini pernah 33 persen, itu tinggi banget, dari 100 orang yang diperiksa 33 orang positif. Bayangkan, luar biasa menakutkan,” jelasnya. Baca: Modus Dicampur Nanas, Miras Cap Tikus Diselundupkan ke Manado.

Tidak hanya itu, Windhu juga menerangkan bahwa hak anak juga harus diperhatikan. Dalam konvensi hak anak, terdapat empat hak yang dimiliki anak. Mulai dari hak untuk kelangsungan hidup, isinya adalah hak untuk hidup dan hak untuk sehat, baru setelah itu hak memperoleh perlindungan dan hak tumbuh kembang, di dalamnya ada pendidikan dan hak berpartisipasi.

Makanya, keputusan membuka PTM harus sains, dalam hal ini adalah ilmu kesehatan masyarakat, ilmu epidemiologi, dan ilmu penyakit menular. Melihat data epidemiologi terlebih dahulu, jika aman barulah dapat dilakukan PTM. Baca Juga: Darurat COVID-19, Jabar Tambah 2.400 Tempat Tidur Baru.
(nag)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1244 seconds (0.1#10.140)